Cekisu.com – Angka perceraian di Indonesia masih sangat tinggi. Rata-rata, satu dari empat keluarga bercerai setiap tahunnya.
Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI H. Zainal Mustamin mengatakan angka perceraian secara nasional tahun 2022 sebanyak 24,8 persen dari total jumlah keluarga di Indonesia bercerai. Setiap daerah bervariatif.
“Artinya satu dari 4 keluarga bercerai. Jadi, ada 1,7 juta orang yang menikah, tapi ada 556 ribu orang yang bercerai pada tahun yang sama,” kata Zainal Mustamin, di Ciawi, Kabupaten Bogor.
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, sepanjang 2022 ada 516.334 kasus perceraian di Indonesia yang telah diputus oleh pengadilan. Angka itu hanya mencakup perceraian pasangan yang beragama Islam.
Adapun faktor penyebab utama perceraian yang terjadi pada tahun 2022 ialah perselisihan dan pertengkaran. Jumlahnya sebanyak 284.169 kasus atau setara dengan 63,41% dari total faktor penyebab kasus perceraian yang semakin tinggi di Indonesia. Kasus perceraian lainnya dilatarbelakangi alasan permasalahan ekonomi, salah satu pihak meninggalkan, poligami, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Zainal Mustamin mengatakan, tingginya kasus perceraian di Indonesia ini menjadi perhatian serius Bina KUA dan Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI. Karenanya, Kemenag akan terus meningkatkan penguatan bimbingan perkawinan atau bimbingan penyuluhan keluarga bekerjasama dengan lintas sektor.
“Kami akan terus melakukan penguatan bimbingan keluarga dengan fondasi agama agar keluarga itu tahu mana yang harus dilakukan, mana yang boleh mana yang tidak. Bimbingan keluarga itu penting agar orangtua, anak, tahu mana yang benar dan perilaku yang menyimpang. Mulai tahun depan, kami akan mewajibkan bimbingan keluarga bagi setiap pasangan calon pengantin,” katanya.
Zainal Mustamin menyebutkan, kasus-kasus yang terjadi di keluarga saat ini kondisinya sudah sistemik dan saling keterkaitan.
“Yang masih banyak terjadi di keluarga adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dampak ikutannya perceraian, anaknya broken home, kemudian terjadi perkawinan dini, akibatnya anaknya terlahir stunting atau kurang gizi,” sebutnya.
Oleh karenanya, kata Zainal, keluarga yang kuat adalah pintu gerbang utama.
“Ketahanan bangsa atau bangsa yang berkualitas itu dibangun masyarakat yang berkualitas, masyarakat yang berkualitas dibangun dari keluarga yang berkualitas, keluarga yang berkualitas dibangun dari perkawinan yang berkualitas, yang sah. Nah, perkawinan yang berkualitas itu hanya bisa dimulai dengan bimbingan,” jelasnya.
Kepala Kantor Kemenag Provinsi Jawa Barat, Ajam Mustajam, menyebutkan, dari 74.823 pasangan menikah di Jawa Barat baru 50,60 persen yang telah mengikuti bimbingan dan penyuluhan perkawinan.(Acep Mulyana)